Hari ini adalah hari penerimaan rapor. Tapi aku tidak terlalu perduli dengan itu. Yang aku mau, di luburan ini aku membuat suasana berbeda. Aku harus benar-benar liburan, tidak hanya di rumah saja. Jauh-jauh hari sebelumnya aku sudah memikirkan dan merencanakan kapan aku bisa nonton film ‘Sang Pemimpi’. Rencana awal aku pergi bersama teman 1 kelas, ada 3 yang setuju yaitu aku, Lidya dan Anisa. Tapi akhirnya nggak jadi karena Lidya nggak mau kalau cuma bertiga. Nggak aku sangka dalam sehari Anisa udah ngajak tetangganya. Karena aku tidak mau dicuekin Anisa waktu nonton, aku berencana mengajak teman-teman SD-ku.
Awalnya aku sms mereka (Shinta, Retno, Yuni, dan Engga), tanya mereka mau tidak kalau nonton ‘Sang Pemimpi’ di Amplaz. Ternyata mereka semua mau, kecuali Engga yang tidak bisa dihubungi. Aku ke rumahnya yang ada hanya ayah dan adiknya. Engga ada di rumah neneknya. Kita berencana kumpul bareng untuk musyawarah tentang Engga, ongkos yang perlu dikeluarin, mau jalan-jalan ke mana lagi selain ke Amplaz. Kumpulnya di rumahku atas usul Yuni. Akupun menyetujui.
Dari musyawarah itu kita dapat keputusan kalau butuh biaya sekitar 10 ribu buat transportasinya. Tiketnya 15 ribu, aku tahu dari Anisa. Setelah ke Amplaz kita mau jalan-jalan ke Malioboro, Shinta mau beli batik. Aku berencana mau beli sepatu dan Retno mau beli DVD di Popeye Music yang ada di Jl.Mataram. Kita bertiga pun sepakat untuk membiayai tiket nonton Yuni, karena awalnya Yuni tidak bisa ikut. Dia bilang kalau jalan-jalan saja dan tidak nonton dia bisa ikut. Akhirnya aku punya ide agar kita bertiga yang membiayai tiketnya. Kalau dipikir-pikir setiap orang hanya menambah Rp 5.000,00. Dan kita sepakat untuk tidak mengajak Engga. Kita berkumpul di rumah neneknya Retno karena paling dekat dengan jalan raya. Kita kumpul tempat itu jam 7 pagi. Hari berikutnya Yuni sms, tanya boleh tidak kalau ngajak 1 teman. Aku setuju-setuju saja sih, soalnya bisa untuk rame-rame. Temannya itu bernama Novika.
Pada hari Kamisnya kami berkumpul sekitar jam 7 di rumah neneknya Retno. Ternyata teman-temanku tepat waktu. Kami mulai berjalan menuju jalan raya sekitar jam 7.30. Belum sempat kami menunggu bus, ketika sedang menyeberangi jalan, kami melihat bus tujuan kami. Kami naik bus 3 kali untuk sampai ke halte Trans Jogja di depan SMA N 1 Yk. Kami sampai di depan SMA N 1 Yk sekitar jam 7.30. Di sana kami segera bertanya dengan petugas yang berada di halte itu.
“Kalau mau ke Amplaz naik jalur apa, Mbak?” Kataku.
“Dari sini naik 2B lalu turun di halte Samsat dan naik 1B” Kata Mbak yang ada di halte itu.
Di halte itu hanya ada kami berlima dan 2 petugas. Tak lama kemudian bus jalur 2B lewat, dan kami menaikinya. Sesampainya di halte Samsat, kami turun dan kembali menunggu bus jalur 1B. Di halte itu sudah ada beberapa orang yang juga menunggu bus. Tak lama kemudian bus yang akan membawa kami ke Amplaz datang. Kami menaikiknya, sama seperti bus 2B, bus yang 1B itu juga sepi penumpang. Mungkin karena ini masih pagi, jadi belum terlalu banyak orang yang ingin bepergian.
Sesampainya di Amplaz waktu menunjukkan pukul 9, sedangkan bioskopnya buka pukul 09.30. Kami memutuskan untuk beristirahat di taman yang berada di depan Amplaz. Aku juga sebenarnya menunggu Anisa dan satu temannya. Karena aku juga ada janji mau beli tiket bareng sama mereka. Pukul 9.20 mereka datang. Kami segera masuk Amplaz. Kami berjalan melewati beberapa mobil yang sedang diparkir. Kami menaiki tangga sampai lantai paling atas, ternyata tidak ada apa-apa. Anisa dan temannya asyik mencari bioskopnya, sedangkan aku bersama 4 temanku kelelahan. Kami pun ketinggalan karena sempat berhenti untuk melepas lelah.
Kami berusaha mencari sendiri keberadaan bioskopnya. Ada seorang bapak-bapak yang berada di dalam mobilnya dan ingin pulang menegur kami, karena kami berada di tengah jalan. Bapak itu menunjuk suatu tempat, tanpa tahu apa yang ditunjuknya kami pun memasuki tempat itu. Kami terus masuk, dan ternyata dari tempat itu tempat bioskopnya. Kami sangat senang. Tak kami duga, ternyata aku melihat Anisa dan temannya baru selesai membeli tiket. Tapi, mereka berdua menonton ‘Sang Pemimpi’ pukul 09.30, teaternya pun berbeda dengan kita.
Aku dan Yuni segera mengantre untuk membeli tiket. Antreannya tidak panjang, mungkin karena masih pagi. Tak lama kemudian aku berhdapan dengan petugasnya. Aku membeli 3 tiket, sedangkan temanku membeli 2 tiket. Aku dan temanku memilih untuk menonton ‘Sang Pemimpi’ pada pukul 10.00, karena saat kami mengantre, waktu menunjukkan pukul 9.45. Setelah mendapat tiket, kami menunggu sampai ada pemberitahuan dari petugasnya bahwa teaternya sudah dibuka. Setelah mendengar pemberitahuan itu, kami pun memesuki terater. Di dalam teater itu, ternyata hanya ada sekitar 10-15 orang. Tapi, setelah kami duduk banyak orang yang bergiliran memasuki teater tersebut.
Kami menonton film ‘Sang Pemimpi’ dari pukul 10.00-1200. Setelah selesai, kami keluar dan melanjutkan perjalanan. Kami pun berjalan-jalan mengunjungi toko satu dan berikutnya di dalam Amplaz itu. Seperti tujuannya, Retno mengajak kita untuk memasuki took kaset, tapi tetap saja yang diinginkan tidak ditemukan. Aku hanya melihat-lihat baju dari luar toko sambil terus berjalan. Kami pun sepakat untuk masuk di toko aksesoris. Kami hanya melihat-lihat, karena mahal-mahal. Karena kelelahan dan kelaparan, pukul 13.30 kami keluar dari amplaz yang besar itu.
Ternyata di luar sedang gerimis. Kami pun berteduh di dalam Pendopo Agung yang terletak di depan Amplaz. Kami beristirahat sambil memakan makanan ringan yang sengaja kami bawa dari rumah. Pukul 14.00 kami ingin melanjutkan perjalanan menuju Malioboro dengan menggunakan Trans Jogja. Kami pun menyeberangi jalan yang berada di depan Amplaz untuk sampai di halte. Kami kembali menaiki Trans Jogja, tapi kali ini hanya 1 kali. Keadaan di dalam busnya pun berbeda, bus itu penuhi dengan orang sejak kami naik sampai Malioboro.
Sesampainya di Malioboro, kami berjalan sambil menyusun rencana, antara ingin mengisi perut dan berkeliling Malioboro. Setelah berjalan sekitar 200 meter kami pun memutuskan untuk makan terlebih dahulu di warung yang ada di pinggir jalan. Kami memilih untuk makan mie ayam. Kedua temanku menambahnya dengan memesan es buah. Selama kami melahap mie ayam, banyak pengemis yang datang.
Pengemis pertama adalah bapak-bapak yang mengulurkan salah satu tangannya, memasang tampang memelas dan mengharap ada yang memberi uang pada tangannya itu. Karena Novika membawa uang receh, ia pun memberi pengemis itu. Pengemis kedua adalah lelaki muda, dengan memakai kaos yang dibalut kemeja yang tidak dikancingkan, memakai celana jeans, memakai sepatu dan membawa gitar. Ia memainkan gitarnya dan menyanyikan sebuah lagu, yang katanya lagu ciptaannya sendiri. Novika membawa uang receh 1 lagi. Ketika dikasih mas itu, mas itu menggelengkan kepala sambil terus bernyanyi. Selanjutya kami tak memandanginya lagi, kami terus melahap mie ayam. Makin lama pengamen itu menyanyi dengan nada meninggi, seperti sedikit berteriak agar kita jengkel. Setelah cukup lama ia menyanyi, aku mengeluarkan uang seribuan dari sakuku. Aku pun menaruhnya di tepi meja dekat pengamen itu, tapi ia tidak berhenti bernyanyi. Ia bernyanyi sambil tersenyum dan menganggukkan kepala. Tak lama kemudian, pengamen itu berhenti bernyanyi dan mengambil uang yang berada di dekatnya.
Tak lama pengemis ketiga pun datang, ia menggunakan kaos dan bercelana jeans yang kelihatan kusam, memakai topi dan membawa gitar yang kecil. Ia mulai bernyanyi, ia menyanyikan lagu Bahasa Jawa. Kami tak memperhatikannya, beberapa menit kemudian ia selesai menyanyi, lalu pergi setelah mengucapkan terima kasih. Pengamen ini sabar dan baik kataku dalam hati. Walaupun tidak diberi uang, dia tidak marah tapi justru mengucapkan terima kasih.
Selang beberapa menit, pengemis keempat datang. Kami berencana untuk mendiamkannya dan tidak memperhatikannya. Ia adalah seorang ibu-ibu dengan pakaian yang kusam dan kotor, ia juga memakai topi. Ia membawa gelas plastik yang digunakan untuk menampung uang. Dia hanya diam. Setelah berfikir mangsanya tidak akan memberi uang, dia pun pergi. Sepertinya dengan muka marah. Biarin aja, enak banget gak melakukan apa-apa tapi dapat uang, kataku dalam hati.
Akhirnya kami selesai makan mie ayam. Kami pun membayar 5 ribu kepada penjualnya. Kami selesai tepat pukul 15,00. Kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan ke arah selatan. Kami berencana membeli cindera mata yang sama. Di dekat warung mie ayam tadi ternyata banyak penjual pernak-pernik. Kami pun tak perlu berjalan jauh. Pada penjual pertama yang kami lihat,kami langsung melihat-lihat kalung dan gelang. Kami pun memilih gelang yang terbuat dari bambu kecil-kecil yang disusun. Kami bertanya harganya.
“Yang itu Rp 2.500,00.” Kata penjual itu.
Kami masih bingung mau pilih yang mana, karena banyak variasinya.
“5 gelang Rp 7.000,00 ya, Pak ?” Tanya Yuni.
Penawaran yang bagus, kataku dalam hati.
“Tidak bisa dong, 1 gelang saja Rp 2.500,00, 5 gelang kok hanya Rp 7.000,00 ?” Kata penjual itu dengan muka jengkelnya.
Beberapa detik, teman-temanku terlihat berfikir. Aku pun melihat-lihat penjual di selatan penjual itu, banyak juga yang menjual gelang dan kalung.
“Ya sudah, kita cari-cari yang lain dulu ya, Pak.” Kataku memecah keheningan.
Aku mendapat ilmu itu dari ayahku. Kalau tidak disetujui harga tawaran kita, kita bilang bahwa akan mencari yang lain dulu untuk mengecoh pikiran penjual. Penjual yang bersaing dengan penjual di sampingnya pasti akan mempertahankan pembelinya. Lihat saja reaksinya bagaimana, kataku dalam hati sambil meninggalkan penjual itu. Baru beberapa langkah berjalan, temanku yang berada di belakang memanggilku.
“Hei, boleh.” Kata 2 orang temanku sambil tersenyum senang. Aku pun menyambutnya dengan senyum kemenangan, dan segera menuju penjual tadi. Akhirnya kita mendapat gelang yang terbuat dari susunan bambu kecil yang berwarna hitam dan coklat muda. Kami terus berjalan. Ketika melihat batik, aku bertanya pada Shinta.
“Jadi gak beli batiknya?” Kataku sambil mengharap dia jadi membeli batik.
Karena aku juga ingin membeli batik. Tapi dia tidak jadi membeli. Aku pun juga tidak jadi. Tak jauh dari toko batik itu, ada pertigaan jalan. Kita bermusyawarah untuk tujuan kita selanjutnya. Sebenarnya Retno ingin membeli DVD di POPEYE MUSIC yang berada di Jl. Mataram. Kalau kita berbelok ke Timur, itu ke arah Jl.Mataram, tapi lumayan jauh kalau ditempuh dengan jalan kaki. Banyak temanku yang tidak setuju karena jauh, sudah sore, dan apabila sudah selesai membeli DVD-nya kita harus kembali ke tempat itu lagi untuk menunggu bus.
Akhirnya kita tidak jadi membeli DVD. Kita menunggu bus jalur 19 yang langsung menuju jalan raya tempat kita menunggu bus pertama kali. Tak lama bus jalur 19 datang. Tak ada penumpang di dalamnya, kita langsung naik. Tapi, ternyata bus itu tidak langsung berjalan. Bus itu masih menunggu penumpang lainnya, agar busnya penuh. Kami menunggu sekitar 30 menit di dalam bus.
Kami sampai di tujuan pukul 16.00. Aku berjalan bersama keempat temanku menuju SMP yang berada dekat dengan jalan raya itu. Novika sudah dijemput sebelum kita sampai SMP. Di pertigaan di depan SMP itu, aku berpisah dengan Retno dan Shinta yang rumahnya dekat SMP itu. Aku pun menunggu jemputan bersamaYuni. Tak lama kami pun dijemput.
Sampai di rumah sekitar pukul 16.30. Ayah dan ibuku tidak ada di rumah, yang ada hanya adik dan pamanku yang datang dari Bantul. Aku pun bertanya kepada pamanku berapa peringkatku. Ternyata aku hanya peringkat 10. Tapi setelah aku lihat nilainya, nilainya lumayan. Masih lebih baik daripada sebelumnya. Nilaiku yang sekarang tidak ada angka 6. Pelajaran Bahasa Inggris yang aku tak bisa mendapat nilai yang paling jelek, yaitu 71. Lumayan lah… Jadi, jalan-jalannya dianggap sebagai hadiah. Akhirnya sukses juga liburannya, seperti keliling Jogja.
Dari musyawarah itu kita dapat keputusan kalau butuh biaya sekitar 10 ribu buat transportasinya. Tiketnya 15 ribu, aku tahu dari Anisa. Setelah ke Amplaz kita mau jalan-jalan ke Malioboro, Shinta mau beli batik. Aku berencana mau beli sepatu dan Retno mau beli DVD di Popeye Music yang ada di Jl.Mataram. Kita bertiga pun sepakat untuk membiayai tiket nonton Yuni, karena awalnya Yuni tidak bisa ikut. Dia bilang kalau jalan-jalan saja dan tidak nonton dia bisa ikut. Akhirnya aku punya ide agar kita bertiga yang membiayai tiketnya. Kalau dipikir-pikir setiap orang hanya menambah Rp 5.000,00. Dan kita sepakat untuk tidak mengajak Engga. Kita berkumpul di rumah neneknya Retno karena paling dekat dengan jalan raya. Kita kumpul tempat itu jam 7 pagi. Hari berikutnya Yuni sms, tanya boleh tidak kalau ngajak 1 teman. Aku setuju-setuju saja sih, soalnya bisa untuk rame-rame. Temannya itu bernama Novika.
Pada hari Kamisnya kami berkumpul sekitar jam 7 di rumah neneknya Retno. Ternyata teman-temanku tepat waktu. Kami mulai berjalan menuju jalan raya sekitar jam 7.30. Belum sempat kami menunggu bus, ketika sedang menyeberangi jalan, kami melihat bus tujuan kami. Kami naik bus 3 kali untuk sampai ke halte Trans Jogja di depan SMA N 1 Yk. Kami sampai di depan SMA N 1 Yk sekitar jam 7.30. Di sana kami segera bertanya dengan petugas yang berada di halte itu.
“Kalau mau ke Amplaz naik jalur apa, Mbak?” Kataku.
“Dari sini naik 2B lalu turun di halte Samsat dan naik 1B” Kata Mbak yang ada di halte itu.
Di halte itu hanya ada kami berlima dan 2 petugas. Tak lama kemudian bus jalur 2B lewat, dan kami menaikinya. Sesampainya di halte Samsat, kami turun dan kembali menunggu bus jalur 1B. Di halte itu sudah ada beberapa orang yang juga menunggu bus. Tak lama kemudian bus yang akan membawa kami ke Amplaz datang. Kami menaikiknya, sama seperti bus 2B, bus yang 1B itu juga sepi penumpang. Mungkin karena ini masih pagi, jadi belum terlalu banyak orang yang ingin bepergian.
Sesampainya di Amplaz waktu menunjukkan pukul 9, sedangkan bioskopnya buka pukul 09.30. Kami memutuskan untuk beristirahat di taman yang berada di depan Amplaz. Aku juga sebenarnya menunggu Anisa dan satu temannya. Karena aku juga ada janji mau beli tiket bareng sama mereka. Pukul 9.20 mereka datang. Kami segera masuk Amplaz. Kami berjalan melewati beberapa mobil yang sedang diparkir. Kami menaiki tangga sampai lantai paling atas, ternyata tidak ada apa-apa. Anisa dan temannya asyik mencari bioskopnya, sedangkan aku bersama 4 temanku kelelahan. Kami pun ketinggalan karena sempat berhenti untuk melepas lelah.
Kami berusaha mencari sendiri keberadaan bioskopnya. Ada seorang bapak-bapak yang berada di dalam mobilnya dan ingin pulang menegur kami, karena kami berada di tengah jalan. Bapak itu menunjuk suatu tempat, tanpa tahu apa yang ditunjuknya kami pun memasuki tempat itu. Kami terus masuk, dan ternyata dari tempat itu tempat bioskopnya. Kami sangat senang. Tak kami duga, ternyata aku melihat Anisa dan temannya baru selesai membeli tiket. Tapi, mereka berdua menonton ‘Sang Pemimpi’ pukul 09.30, teaternya pun berbeda dengan kita.
Aku dan Yuni segera mengantre untuk membeli tiket. Antreannya tidak panjang, mungkin karena masih pagi. Tak lama kemudian aku berhdapan dengan petugasnya. Aku membeli 3 tiket, sedangkan temanku membeli 2 tiket. Aku dan temanku memilih untuk menonton ‘Sang Pemimpi’ pada pukul 10.00, karena saat kami mengantre, waktu menunjukkan pukul 9.45. Setelah mendapat tiket, kami menunggu sampai ada pemberitahuan dari petugasnya bahwa teaternya sudah dibuka. Setelah mendengar pemberitahuan itu, kami pun memesuki terater. Di dalam teater itu, ternyata hanya ada sekitar 10-15 orang. Tapi, setelah kami duduk banyak orang yang bergiliran memasuki teater tersebut.
Kami menonton film ‘Sang Pemimpi’ dari pukul 10.00-1200. Setelah selesai, kami keluar dan melanjutkan perjalanan. Kami pun berjalan-jalan mengunjungi toko satu dan berikutnya di dalam Amplaz itu. Seperti tujuannya, Retno mengajak kita untuk memasuki took kaset, tapi tetap saja yang diinginkan tidak ditemukan. Aku hanya melihat-lihat baju dari luar toko sambil terus berjalan. Kami pun sepakat untuk masuk di toko aksesoris. Kami hanya melihat-lihat, karena mahal-mahal. Karena kelelahan dan kelaparan, pukul 13.30 kami keluar dari amplaz yang besar itu.
Ternyata di luar sedang gerimis. Kami pun berteduh di dalam Pendopo Agung yang terletak di depan Amplaz. Kami beristirahat sambil memakan makanan ringan yang sengaja kami bawa dari rumah. Pukul 14.00 kami ingin melanjutkan perjalanan menuju Malioboro dengan menggunakan Trans Jogja. Kami pun menyeberangi jalan yang berada di depan Amplaz untuk sampai di halte. Kami kembali menaiki Trans Jogja, tapi kali ini hanya 1 kali. Keadaan di dalam busnya pun berbeda, bus itu penuhi dengan orang sejak kami naik sampai Malioboro.
Sesampainya di Malioboro, kami berjalan sambil menyusun rencana, antara ingin mengisi perut dan berkeliling Malioboro. Setelah berjalan sekitar 200 meter kami pun memutuskan untuk makan terlebih dahulu di warung yang ada di pinggir jalan. Kami memilih untuk makan mie ayam. Kedua temanku menambahnya dengan memesan es buah. Selama kami melahap mie ayam, banyak pengemis yang datang.
Pengemis pertama adalah bapak-bapak yang mengulurkan salah satu tangannya, memasang tampang memelas dan mengharap ada yang memberi uang pada tangannya itu. Karena Novika membawa uang receh, ia pun memberi pengemis itu. Pengemis kedua adalah lelaki muda, dengan memakai kaos yang dibalut kemeja yang tidak dikancingkan, memakai celana jeans, memakai sepatu dan membawa gitar. Ia memainkan gitarnya dan menyanyikan sebuah lagu, yang katanya lagu ciptaannya sendiri. Novika membawa uang receh 1 lagi. Ketika dikasih mas itu, mas itu menggelengkan kepala sambil terus bernyanyi. Selanjutya kami tak memandanginya lagi, kami terus melahap mie ayam. Makin lama pengamen itu menyanyi dengan nada meninggi, seperti sedikit berteriak agar kita jengkel. Setelah cukup lama ia menyanyi, aku mengeluarkan uang seribuan dari sakuku. Aku pun menaruhnya di tepi meja dekat pengamen itu, tapi ia tidak berhenti bernyanyi. Ia bernyanyi sambil tersenyum dan menganggukkan kepala. Tak lama kemudian, pengamen itu berhenti bernyanyi dan mengambil uang yang berada di dekatnya.
Tak lama pengemis ketiga pun datang, ia menggunakan kaos dan bercelana jeans yang kelihatan kusam, memakai topi dan membawa gitar yang kecil. Ia mulai bernyanyi, ia menyanyikan lagu Bahasa Jawa. Kami tak memperhatikannya, beberapa menit kemudian ia selesai menyanyi, lalu pergi setelah mengucapkan terima kasih. Pengamen ini sabar dan baik kataku dalam hati. Walaupun tidak diberi uang, dia tidak marah tapi justru mengucapkan terima kasih.
Selang beberapa menit, pengemis keempat datang. Kami berencana untuk mendiamkannya dan tidak memperhatikannya. Ia adalah seorang ibu-ibu dengan pakaian yang kusam dan kotor, ia juga memakai topi. Ia membawa gelas plastik yang digunakan untuk menampung uang. Dia hanya diam. Setelah berfikir mangsanya tidak akan memberi uang, dia pun pergi. Sepertinya dengan muka marah. Biarin aja, enak banget gak melakukan apa-apa tapi dapat uang, kataku dalam hati.
Akhirnya kami selesai makan mie ayam. Kami pun membayar 5 ribu kepada penjualnya. Kami selesai tepat pukul 15,00. Kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan ke arah selatan. Kami berencana membeli cindera mata yang sama. Di dekat warung mie ayam tadi ternyata banyak penjual pernak-pernik. Kami pun tak perlu berjalan jauh. Pada penjual pertama yang kami lihat,kami langsung melihat-lihat kalung dan gelang. Kami pun memilih gelang yang terbuat dari bambu kecil-kecil yang disusun. Kami bertanya harganya.
“Yang itu Rp 2.500,00.” Kata penjual itu.
Kami masih bingung mau pilih yang mana, karena banyak variasinya.
“5 gelang Rp 7.000,00 ya, Pak ?” Tanya Yuni.
Penawaran yang bagus, kataku dalam hati.
“Tidak bisa dong, 1 gelang saja Rp 2.500,00, 5 gelang kok hanya Rp 7.000,00 ?” Kata penjual itu dengan muka jengkelnya.
Beberapa detik, teman-temanku terlihat berfikir. Aku pun melihat-lihat penjual di selatan penjual itu, banyak juga yang menjual gelang dan kalung.
“Ya sudah, kita cari-cari yang lain dulu ya, Pak.” Kataku memecah keheningan.
Aku mendapat ilmu itu dari ayahku. Kalau tidak disetujui harga tawaran kita, kita bilang bahwa akan mencari yang lain dulu untuk mengecoh pikiran penjual. Penjual yang bersaing dengan penjual di sampingnya pasti akan mempertahankan pembelinya. Lihat saja reaksinya bagaimana, kataku dalam hati sambil meninggalkan penjual itu. Baru beberapa langkah berjalan, temanku yang berada di belakang memanggilku.
“Hei, boleh.” Kata 2 orang temanku sambil tersenyum senang. Aku pun menyambutnya dengan senyum kemenangan, dan segera menuju penjual tadi. Akhirnya kita mendapat gelang yang terbuat dari susunan bambu kecil yang berwarna hitam dan coklat muda. Kami terus berjalan. Ketika melihat batik, aku bertanya pada Shinta.
“Jadi gak beli batiknya?” Kataku sambil mengharap dia jadi membeli batik.
Karena aku juga ingin membeli batik. Tapi dia tidak jadi membeli. Aku pun juga tidak jadi. Tak jauh dari toko batik itu, ada pertigaan jalan. Kita bermusyawarah untuk tujuan kita selanjutnya. Sebenarnya Retno ingin membeli DVD di POPEYE MUSIC yang berada di Jl. Mataram. Kalau kita berbelok ke Timur, itu ke arah Jl.Mataram, tapi lumayan jauh kalau ditempuh dengan jalan kaki. Banyak temanku yang tidak setuju karena jauh, sudah sore, dan apabila sudah selesai membeli DVD-nya kita harus kembali ke tempat itu lagi untuk menunggu bus.
Akhirnya kita tidak jadi membeli DVD. Kita menunggu bus jalur 19 yang langsung menuju jalan raya tempat kita menunggu bus pertama kali. Tak lama bus jalur 19 datang. Tak ada penumpang di dalamnya, kita langsung naik. Tapi, ternyata bus itu tidak langsung berjalan. Bus itu masih menunggu penumpang lainnya, agar busnya penuh. Kami menunggu sekitar 30 menit di dalam bus.
Kami sampai di tujuan pukul 16.00. Aku berjalan bersama keempat temanku menuju SMP yang berada dekat dengan jalan raya itu. Novika sudah dijemput sebelum kita sampai SMP. Di pertigaan di depan SMP itu, aku berpisah dengan Retno dan Shinta yang rumahnya dekat SMP itu. Aku pun menunggu jemputan bersamaYuni. Tak lama kami pun dijemput.
Sampai di rumah sekitar pukul 16.30. Ayah dan ibuku tidak ada di rumah, yang ada hanya adik dan pamanku yang datang dari Bantul. Aku pun bertanya kepada pamanku berapa peringkatku. Ternyata aku hanya peringkat 10. Tapi setelah aku lihat nilainya, nilainya lumayan. Masih lebih baik daripada sebelumnya. Nilaiku yang sekarang tidak ada angka 6. Pelajaran Bahasa Inggris yang aku tak bisa mendapat nilai yang paling jelek, yaitu 71. Lumayan lah… Jadi, jalan-jalannya dianggap sebagai hadiah. Akhirnya sukses juga liburannya, seperti keliling Jogja.
0 komentar:
Posting Komentar